Jumat, 30 Januari 2015

Dimana Bintang yang Dulu Kugantungkan ?


Dimana Bintang yang Dulu Kugantungkan ?

Pada awalnya aku memang tak ingin ikut temanku untuk menemuinya. Aku tidak memiliki cukup keberanian unuk kembali menatap matanya, untuk bertegur sapa dengannya. Aku tak berani. Namun, dengan alasan ini adalah karya aku dan temanku (S) maka aku ikut untuk menemuinya berdiskusi bersama. Entah apa yang terjadi setiap kali kami berdiskusi, aku selalu ingin menumpahkan segala yang ia ucapkan melalui sebuah tulisan.
Aku dan S memang suka membuat karya tulis bersama, kali ini setelah sekian lama tak bersua dengannya ada lagi kesempatan untuk bertemu. Aku ingat perkataan salah satu kakak tingkat untuk memutus interaksi ketika kita mulai merasakan sesuatu yag tak seharusnya kita rasakan. Aku bertekad untuk itu, lama sekali tak bertemu. Akun facebook-nya aku blokir. Namun tak bertahan lama, aku unblock. Aku tak memiliki keberanian untuk kembali meminta pertemanan.
Semenjak Mei 2014 aku, S dan dia pergi ke Bali untuk persentasi lomba karya tulis ilmiah, aku belum pernah lagi masuk final. Aku malu, mungkin aku adalah kader yang gagal. Aku berusaha dan gagal, berusaha lagi gagal lagi. Kakak tingkatku yang “jagoan” dalam menulis karya ilmiah pernah berkata padaku bahwa ia pada awalnya mengalami kegagalan menulis selama 8 kali. Lalu setelah itu, dia mulai berhasil dan memenangkan beberapa lomba karya tulis ilmiah. Itulah caraku untuk menghibur diri sendiri ketika gagal, yaitu dengan mengingat kegagalan orang lain. Namun, disisi lain aku malu aku tak ingin terlihat seperti aku tak bisa tanpanya. Aku harus membuktikan bahwa ku bisa melakukan sesuatu tanpa bantuannya.
Karya tulis yang pernah kubuat dengan teman-teman lain diantaranya adalah :
1.      Pro-Kreasi (Program Kreativitas Siswa) sebagai Upaya untuk Menggali Kreativitas Siswa Tingkat Atas Indonesia di Era Ekonomi Kreatif. Mendapatkan juara pertama lomba karya tulis tingkat Program Studi Pendidikan Ekonomi
2.      TFC (Traditional Food Center): Solusi untuk Meningkatkan Eksistensi Pangan Lokal di Era ASEAN Economic Community 2015. Hanya meraih peringkat 18 (waiting list)
3.      “E-SALAM : Model Pembelajaran Solutif Untuk Menciptakan Muslimpreneur Muda Kreatif dan Inovatif bagi Siswa Tingkat Atas di Indonesia”. Masih gagal dan tidak menembus final.
4.      Dewan Pengawas Tempat Pelelangan Ikan Sebagai Upaya Meningkatkan Usaha dan Kesejahteraan Nelayan di Daerah Pelabuhan Ratu Sukabumi (Jawa Barat). Belum lolos juga.
Kadang aku lelah dan mulai menyerah. Namun, aku tak mungkin melakukannya, karena sifat putus asa adalah sifat yang dibenci oleh Allah. Hari ini setelah bertemu dengannya aku merasa digampar. Aku yang selama hidup tanpanya seperti kehilangan bahan bakar penyemangat mesin hati yang kering dan berdebu. Tak bisa berjalan, hanya ditempat. Belum ada prestasi lain yang aku torehkan tanpanya.bahkan prestasi yang sudah ada menurun.
Aku selalu bertanya pada Allah, mengapa ia selalu memperlihatkan keindahan dari hamba-Nya yang satu itu ? Membuatku kembali terkagum kagum. Namun dengan begitu, aku tak lagi memimpikannya. Aku terlalu realistis untuk berharap dapat memetik bintang tanpa memiliki sebuah pesawat.
Sejuta rencana masa depan yang ia utarakan membuatku semakin menggigil. Mana rencana masa depanmu ? Dimana kau gantungkan cita-cita yang dulu kau simpan setinggi langit, dimana cita-cita itu. Kini aku menyadari alangkah terlalu muluk-muluknya diriku yang masih memikirkan masalah cinta masa depan dibandingkan dengan kualitas hidup dimasa depan. Betapa dangkalnya aku yang masih memikirkan cinta di usia yang harusnya aku sedang produktif-produktifnya dalam menghasilkan suatu karya, menghasilkan suatu prestasi yang membanggakan orang tua. Tak pernahkan engkau malu masih berpangku tangan terhadap orang tua di usiamu yang sekarang ini.
AMPUNI AKU YA ALLAH UNTUK MENJADI ANAK YANG BELUM BISA ORANG TUA BANGGAKAN L

Jumat, 23 Januari 2015

My Fakhri

Nama “Fakhri” dalam puisi ini bukan nama yang sebenarnya, hanya sebuah analogi kepada tokoh utama laki-laki di film Ayat-Ayat Cinta.

My Fakhri

Engkau telah membuka mataku akan pentingnya cita, cinta dan citra
Engkau ajarkan aku arti hidup sebenarnya
Menjadikan misi-misi di dunia untuk menggapai visi akhirat
Seret aku, tuntun aku, peluk aku dengan ilmumu
Raih dan genggam tanganku bersamamu
Rengkuh aku dengan kasih sayangmu karena-Nya
 Gejolak hati ini, semoga bukanlahh sebuah nafsu belaka
Melainkan bukti kekagumanku terhadap ciptaan-Nya yang sangat kusayangi

Ana uhibbuka fillah ya Fakhri … ya Akhi

He’s My Fakhri

Sebuah puisi dari jiwa yang sedang kering mendamba cinta …
Masih belajar nulis puisi hehehe …

He’s My Fakhri

Subhanallah …
Engkau telah menciptakan seorang ikhwan tangguh
Seorang ikhwan dengan seribu visi sejuta misi
Kepatuhan dan ketaatannya pada-Mu membuatku malu

Tak kuasa rasanya memandang keindahan yang ada
Betapa rendah aku, tak pantas aku bersamanya
Tapi mimpi ini selalu ada …
Harapan ini selalu muncul untuk bersamanya

Angan merajut asa, menggapai surga-Mu bersamanya
Bergenggaman tangan untuk saling menguatkan menuju ridha-Mu
SALAHKAH ? Hamba-Mu yang hina ini,
Hamba-Mu yang kotor ini berharap sebuah mutiara yang bersinar dilautan kehidupan

Hamba mau, bahkan memimpikannya rasanya tak pantas

Senin, 19 Januari 2015

Inspirasi setelah Nonton “Kehormatan di Balik Kerudung”

Hari ini tiba-tiba aku mencemaskan tentang masa depanku. Masa depan yang aku tak tau akan bagaimana jadinya bila aku belum bisa membahagiakan Mamah dan Bapak, atau bahkan masa depan yang harus aku lalui tanpa Mamah dan Bapak. Akan jadi apa aku tanpa Mamah dan Bapak ? Pertanyaan-pertanyaan itu tiba-tiba muncul hari ini, ketika milyaran manusia di bumi berkejaran untuk mendapatkan masa depan yang cerah, aku sedang apa ? Aku akan jadi apa ? Aku harus harus bagaimana ?
Usiaku sudah 20 tahun. Apa yang sudah aku berikan untuk Mamah dan Bapak ? Lebih banyak kebahagiaan atau malah kesedihan ? Orang tua yang selalu memperjuangkan kebahagiaanku, walau kadang aku tak menyadarinya, walau mungkin caranya yang salah. Maafkan aku Mah.
Masa depan yang lain menantiku. Sebagai insan dengan cinta, akupun merindukannya. Kapan, dimana dan seperti apa masa depanku aku tak tahu. Namun, ketidaktahuan tidak lebih menyedihkan dibandingkan dengan tidak adanya masa depan. Dengan tidak adanya kepercayaan diri yang kumiliki, aku harus bagaimana ? Bahkan hati ini meragukan aku bisa bahagia seperti orang lain.
Insan-insan yang menderita karena cinta, lalu menjadi egois dan sangat frustasi. Aku takut. Bagaimana keegoisan Syahdu yang menelan banyak korban, termasuk  dirinya sendiri.
            Walau Tuhan menjanjikan syurga yang indah, hatinya tetap sakit. Pun itu yang dirasakan pada Sofhia, Aisyah bahkan mungkin di dunia nyata seperti Teh Ninih. Berbagi tak selamanya membawa kebahagiaan, inilah yang terjadi saat kita membagi cinta. Cinta yang hanya ingin kita arungi berdua, namun terpaksa harus ada penumpang lain yang berada di kapal kehidupan yang sedang kita arungi. Nahkoda satu, namun tanggungjawabnya ada dua. Sungguh keadilan akan sulit ditegakkan sekalipun  diadili oleh hakim tersohor di dunia.
            Kini aku mengerti ketika aku jelaskan kepada Bibiku, bahwa perempuan yang dengan rela dan ikhlas dimadu, maka jaminan syurga baginya. Ia tak bergeming. Sejurus kemudian ia menjawab bahwa akan berpikir ribuan kali untuk dimadu walaupun jaminannya syurga. Setelah menonton film “Kehormatan di Balik Kerudung”, kini aku mengerti bahwa kata ikhlas tidak sepenuhnya mampu menghapus sakit yang akan dirasakan ketika dimadu. Bagaimana Sofhia dan Syahdu sama-sama memeras air mata walau mereka mendapatkan orang yang mereka sayangi, Ifand.

Pertanyaan lalu muncul, adakah perempuan berhati lembut layaknya Sofhia yang rela membagi cinta yang telah lama ia idam-idamkan ? Adakah laki-laki sepengertian dan sepenyayang Ifand yang masih peduli kepada orang yang pernah disayanginya ketika sakit yang masih menghargai istrinya walau mungkin ia tak mencintainya ? Adakah perempuan yang karena begitu kuat cintanya terhadap lelaki membuatnya begitu tersiksa jiwa dan raga lalu membuat ego menggunung sehingga kebaikan Sofhia  bagai sebutir pasir di Pantai layaknya Syahdu ?. Jawabanyya hanya Tuhan yang tahu.