Hari ini tiba-tiba aku mencemaskan tentang masa
depanku. Masa depan yang aku tak tau akan bagaimana jadinya bila aku belum bisa
membahagiakan Mamah dan Bapak, atau bahkan masa depan yang harus aku lalui
tanpa Mamah dan Bapak. Akan jadi apa aku tanpa Mamah dan Bapak ? Pertanyaan-pertanyaan
itu tiba-tiba muncul hari ini, ketika milyaran manusia di bumi berkejaran untuk
mendapatkan masa depan yang cerah, aku sedang apa ? Aku akan jadi apa ? Aku
harus harus bagaimana ?
Usiaku sudah 20 tahun. Apa yang sudah aku berikan
untuk Mamah dan Bapak ? Lebih banyak kebahagiaan atau malah kesedihan ? Orang
tua yang selalu memperjuangkan kebahagiaanku, walau kadang aku tak
menyadarinya, walau mungkin caranya yang salah. Maafkan aku Mah.
Masa depan yang lain menantiku. Sebagai insan dengan
cinta, akupun merindukannya. Kapan, dimana dan seperti apa masa depanku aku tak
tahu. Namun, ketidaktahuan tidak lebih menyedihkan dibandingkan dengan tidak
adanya masa depan. Dengan tidak adanya kepercayaan diri yang kumiliki, aku
harus bagaimana ? Bahkan hati ini meragukan aku bisa bahagia seperti orang
lain.
Insan-insan yang menderita karena cinta, lalu menjadi
egois dan sangat frustasi. Aku takut. Bagaimana keegoisan Syahdu yang menelan
banyak korban, termasuk dirinya sendiri.
Walau
Tuhan menjanjikan syurga yang indah, hatinya tetap sakit. Pun itu yang
dirasakan pada Sofhia, Aisyah bahkan mungkin di dunia nyata seperti Teh Ninih.
Berbagi tak selamanya membawa kebahagiaan, inilah yang terjadi saat kita
membagi cinta. Cinta yang hanya ingin kita arungi berdua, namun terpaksa harus
ada penumpang lain yang berada di kapal kehidupan yang sedang kita arungi.
Nahkoda satu, namun tanggungjawabnya ada dua. Sungguh keadilan akan sulit ditegakkan
sekalipun diadili oleh hakim tersohor di
dunia.
Kini
aku mengerti ketika aku jelaskan kepada Bibiku, bahwa perempuan yang dengan
rela dan ikhlas dimadu, maka jaminan syurga baginya. Ia tak bergeming. Sejurus
kemudian ia menjawab bahwa akan berpikir ribuan kali untuk dimadu walaupun
jaminannya syurga. Setelah menonton film “Kehormatan di Balik Kerudung”, kini
aku mengerti bahwa kata ikhlas tidak sepenuhnya mampu menghapus sakit yang akan
dirasakan ketika dimadu. Bagaimana Sofhia dan Syahdu sama-sama memeras air mata
walau mereka mendapatkan orang yang mereka sayangi, Ifand.
Pertanyaan lalu muncul, adakah perempuan berhati
lembut layaknya Sofhia yang rela membagi cinta yang telah lama ia idam-idamkan
? Adakah laki-laki sepengertian dan sepenyayang Ifand yang masih peduli kepada
orang yang pernah disayanginya ketika sakit yang masih menghargai istrinya
walau mungkin ia tak mencintainya ? Adakah perempuan yang karena begitu kuat
cintanya terhadap lelaki membuatnya begitu tersiksa jiwa dan raga lalu membuat
ego menggunung sehingga kebaikan Sofhia
bagai sebutir pasir di Pantai layaknya Syahdu ?. Jawabanyya hanya Tuhan
yang tahu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
kritik dan sarannya ditunggu untuk lebih memperbaiki postingan-postingan saya berikutnya :)