Cerpen peserta BM LOVE WRITING 2013
Episode
Kehidupan Pemecut Kesuksesan
“Ini
semua salah Ayah” suara hatiku yang kesal meratapi nasib yang tak kunjung membuatku bahagia dalam menjalani kehidupan.
Dalam setahun ini aku sudah pindah rumah 3 kali, tepatnya rumah kontrakanku.
Semenjak Ayah menghilang, keluargaku menjadi carut marut. Aku bukanlah orang yang berasal dari keluarga kaya, namun
kebersamaan yang keluargaku miliki merupakan harta yang berharga bagiku.
Kini dunia serasa menghimpit keluargaku,
seakan-akan keluargaku berada di tepi jurang kebinasaan.
***
Malam itu
Ayah baru pulang dari luar kota, pekerjaannya sebagai sopir di sebuah
perusahaan membuatnya jarang ada di rumah. Terlihat garis wajah kelelahan
tampak jelas kala itu, aku dan ibu yang sedang ayik menonton sinetron menyapa ayah
yang memasuki tempat kami nonton tv, kebetulan saat itu kami mengontrak sebuah
rumah yang cukup luas.
“Eh Bapak baru pulang, kemarin nganterin
barangnya kemana Pak ?” tanyaku yang tetap fokus pada layar televisi.
“Dari
Jakarta” Jawab ayah sambil melangkahkan kakinya ke arah dapur yang tak lama kemudian keluar.
“Makan
dulu Pak”, seru ibu. Namun, ayah menolak
tawaran makan dari ibu dan bergegas keluar rumah, aku dan ibu bertatapan dan
bertanya-tanya mau kemanakah ayah yang saat itu baru pulang dari pekerjaannya
namun bergegas meninggalkan rumah lagi.
“Mau kemana lagi Pak ? Kenapa
tidak makan dulu?”
“Mau
nganterin barang lagi, sebentar kok”, Ayah merogoh sakunya dan memberikan
beberapa lembar uang kepada ibu untuk biaya hidup kami selama ayah pergi keluar
kota.
Tak lama
setelah ayah meninggalkan rumah, ibu berpamitan untuk ke warung saat itu juga. Walaupun
hari sudah larut, ibu pergi ke warung dengan alasan ingin segera membayar
utang-utangnya. Aku menganggukan kepala sebagai tanda mengizinkan ibu pergi.
***
“Kunci
pintu rapat-rapat ! siapapun yang datang jangan dibuka ! jagain adikmu” suara ibu
yang sedikit bergetar membuatku takut dan bertanya-tanya tentang apa yang telah
terjadi. Berkali-kali aku menanyakan pada ibu apa yang telah terjadi sehingga ibu
menyuruhku bergegas mengunci pintu dan ibu kembali meninggalkan rumah tanpa
berpamitan dulu. Hatiku bergetar dan badai ketakutan melanda jiwaku kala itu,
seketika itu juga ku tutup buku pelajaran yang ada di pangkuanku. Kucoba untuk
tetap tenang, dan kembali fokus pada sinetron yang sedang aku tonton. Namun,
tetap saja hati ini gelisah dan pikiranku melayang-layang membayangkan apa yang
sebenarnya telah terjadi. 20 menit kemudian ibu kembali kemudian menyuruhku
untuk berkemas dan membangunkan adikku.
“Teh ! Cepet beresin bukunya, bangunin si
ade “
“Mau
kemana mah ?”
“Cepet beresin
aja”
Tanpa
banyak bicara lagi aku menuruti kata-kata ibu. Dengan mata yang sudah terasa
berat aku tiba di rumah salah satu tetangga jauh kami, namanya Bu Tuti. Ibu
dengan Bu Tuti memang terbilang sangat dekat, seperti halnya seorang sahabat sejati.
Setelah berbinbincang-bincang sebentar,
Ibu pergi sambil menitipkan aku dan
adikku pada Bu Tuti. Malam itu aku dan adikku menginap di rumah Bu Tuti tanpa
ibu, dalam hatiku masih bertanya-tanya kemanakah ibu ? Mengapa ia meninggalkan
aku dan adikku ?. Hari telah larut malam, tapi mata ini enggan untuk menutupkan
kelopaknya, perasaan gelisah masih menjadi penghuni hati ini sehingga membuat
aku tetap terjaga.
Pagi-pagi
buta ibu datang dan menceritakan apa yang sebenarnya malam tadi terjadi. Mataku
yang bulat tak kuasa untuk membendung gelombang air mata yang keluar perlahan.
Dunia seakan bergoncang dengan hebatnya sehingga tubuhku tak bisa berdiri tegak
walau sedetik.
Sejak
saat itu kehidupan kami berubah drastis, kami tidak lagi mengontrak rumah,
melainkan numpang di rumah Bibi yang kebetulan tidak ditempati, ayah pergi dan
entah ada dimana dan dengan siapa. Atas dasar itulah ibu memutuskan untuk tidak
mengontrak rumah karena takut tidak bisa mencicil pembayarannya. Kini ibu
menjadi single parent yang harus
memperjuangkan hidup aku dan adikku seorang diri. Dengan pekerjaan sebagai
buruh disebuah pabrik karung kecil, gajihnya tidak mencukupi, ditambah lagi
dengan adanya keputusan pemberhentian kontrak kerja sementara yang secara otomatis
membuat ibu menjadi seorang pengangguran.
Bagaikan
hembusan angin yang tak tahu arah tujuan, ibu mencari pekerjaan kesana kemari.
Namun seperti seorang penjelajah yang tak memiliki kompas, usaha ibu untuk
mencari jalan keluar dari permasalahan ekonomi ini tak kunjung mendapat
pencerahan. Hingga pada suatu hari, seorang tetangga yang bekerja sebagai
penjahit menawari pekerjaan kepada kami, walaupun saat itu aku masih kelas X
SMA, tapi aku sudah bisa mengerjakan sedikit keterampilan. Dengan memasangkan
kancing pada baju-baju yang dijahit oleh tetanggaku itu, aku bisa mendapatkan
uang untuk sekedar ongkos sekolahku.
Seiring berjalannya
waktu, ibu mendapat pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga disebuah rumah
pasangan dokter. Hidup kami tergantung pada besarnya gaji yang diberikan ibu
dan bapak dokter yang menjadi majikan ibuku. Tak tega memang hatiku membiarkan
ibuku menjadi seorang pembantu rumah tangga, penghasilan yang didapatnya tidak
sebanding dengan apa yang dikorbankan.
***
Setelah
kejadian malam itu, tak pernah seharipun mata ini absen mengeluarkan
butiran-butiran air mata. ‘Ayah’ seorang sosok yang sangat aku banggakan,
sangat aku sayangi dan aku hormati ternyata telah membuat aku, ibu dan adikku
sengasara seperti ini. Kami diusir secara tidak langsung oleh bibi yang awalnya
memberikan kami izin untuk meninggali rumahnya. Aku menangis tersedu dipangkuan
ibu, dan menceritakan apa yang aku dengar ketika aku melewati rumah salah
seorang tetanggaku, bibiku itu bercerita bahwa kami akan merebut rumahnya.
Sakiiit hati ini, mengapa cobaan datang bertubi-tubi kepada keluargaku ?.
Beberapa
hari kemudian, ibu memutuskan untuk pindah dari rumah bibiku itu. Kami bahkan
tidak tahu harus pindah kemana. Sebenarnya ibu memiliki banyak kakak dan
adik-adik lain yang rumahnya tepat berdampingan dengan rumah bibiku yang
sekarang aku tinggali. Ketika kami kehilangan arah tujuan, tak ada satupun
saudara-saudara ibu yang membantu. Jangankan untuk menawari tempat tinggal
sementara, menyapa pun tidak. Lagi-lagi Bu Tuti-lah yang menjadi malaikat kami,
ia memiiki tanah kosong dibelakang rumahnya, dengan gotong royong keluarga Bu
Tuti membuatkan sebuah gubuk kecil untuk tempat kami hidup. Dengan bermodalkan
menjual tabung gas 3 kg yang menjadi satu-satunya harta kami saat itu, ibu
membantu membeli anyaman dari kulit bambu untuk dijadikan dinding gubuk kami
kelak.
Beberapa
hari kemudian, gubuk kecil itu telah siap menyambut kami. Saat proses pindahan
itu aku, ibu dan adikku yang masih SD benar-bebar menjadi sebuah tim yang
solid. Mengangkut barang ini, barang itu sesuai dengan kemampuan masing-masing.
Entah berapa kali kami bolak-balik melewati rumah-rumah tetangga lain
mengangkut barang-barang itu. Tapi bagaikan tontonan yang seru, orang-orang
disekitar kami hanya bisa melihat kami dengan berkata “prihatin”.
Suatu
ketika, aku dan adikku mengangkut barang-barang bersama, bibi-bibiku sedang
berkumpul disebuah teras rumah salah seorang bibiku. Apa yang mereka lakukan
ketika melihat aku dan adikku meringkih menggotong barang-barang yang berat itu
?. TAK ADA RESPON. Sepertinya mereka memang telah menutup mata dan telinga
mereka rapat-rapat dengan sumbatan kebencian pada keluargaku. Walau aku sendiri
tak tahu mengapa mereka membenci kami.
***
Gubuk
kami dengan luas sekitar 3x4 meter-lah kami hidup. Suami Bu Tuti yang bekerja
sebagai peternak yang memiliki ratusan itik , kandangnya tepat 1 meter di
samping gubuk kami. Setiap malam mata ini enggan untuk terpejam dengan penuh
kenikmatan. Suara itik-itik yang mengganggu dan baunya yang membuat hidung kami
serasa diracuni itu jelas membuat kami tak nyaman. Namun apa daya, inilah
episode kehidupan yang harus keluargaku jalani.
***
Tak terasa
waktu berlalu dengan cepat. Ayah kembali ! walau dulu aku sempat membencinya,
tapi kini ketika ia kembali, hati ini luluh dan menangis dipelukannya untuk
menumpahkan semua air mata kerinduan yang selama ini aku pendam. Ayah
menjelaskan apa yang selama ini terjadi padanya. Waktu malam itu, ketika Ayah
pulang kerja dan bergegas ke dapur, ayah membawa sebuah golok yang
disembunyikan dibalik jaketnya yang tebal. Kejadian itu berlalu dengan cepat,
ketika amarah menguasai pikiran dan hati ayah. Ia tak sadar akan resiko atas
apa yang ia perbuat. Ayah menganiaya seseorang yang ternyata adalah suami dari
sahabat karib ibu, tindakan yang menyulut emosi ayah ketika orang tersebut
mengirim pesan singkat (sms) kepada ibu dengan kata-kata rayuan dan bisa
dikatakan jorok. Tanpa ia sadari bahwa yang selama ini membalas sms itu adalah
ayah, bukan ibu. Ayah memutuskan untuk menyuruhnya menunggu disebuah tempat
untuk mengadakan pertemuan. Laki-laki itu masih mengira ibu meladeni nafsu
syetannya itu. Hingga akhirnya kejadian itu terjadi.
Selama
berbulan-bulan ayah menjadi buronan dan meninggalkan kami hidup dalam garis
keprihatinan. Aku sekarang tidak menyalahkan ayah, aku sudah cukup dewasa untuk
mengerti betul alasan seorang suami melakukan hal tersebut. Demi melindungi orang
yang ia sayang dan menjaga kehormatannya, ayah rela mengorbankan dirinya
terasing nun jauh disana, meninggalkan kami.
Pada
awalnya memang sulit, seluruh kampung tahu percis apa yang telah diperbuat
ayahku, status ayahku yang pernah menjadi seorang buronan membuat image keluargaku buruk, mereka hanya
melihat dari sudut pandang kesalahan yang ayah lakukan, bukan dari alasan ayah
melakukan kesalahan tersebut.
Namun
keteguhan hati yang membuatku tetap percaya diri, aku berusaha menutup mata,
telinga dan hati dari guyuran hujan cemoohan yang dilontarkan orang-orang
kampung pada keluargaku. Bertahun-tahun keluarga kami merangkak mencari setitik
kepercayaan untuk melanjutkan episode-episode kehidupan yang lebih baik.
Kini roda
kehidupan kami telah berputar kembali. Aku, ibu, ayah dan adikku kembali
merajut asa keluarga kami yang sempat tercerai berai disapu ombak cobaan yang
datang menghantam kapal kehidupan kami. Begitupun aku, aku dengan image-ku yang sudah tidak suci lagi
terus membangun jalan menuju cita dan asa yang ingin aku raih.
Siapalah
aku sekarang ? aku yang pernah mengalami titik terendah dalam kehidupan. Pernah
merasakan pahit getirnya hidup tanpa seorang ayah telah menjelma menjadi gadis
yang kuat. Aku kini melanjutkan studiku disebuah Perguruan Tinggi Negeri (PTN)
di Yogyakarta. Menghasilkan banyak prestasi dengan menuliskan kisah-kisah hidup
seseorang yang selama ini ada dalam bayangan, lingkungan dan pandangan mataku.
Ya, kini aku berprofesi sebagai penulis novel terlaris. Kudedikasikan semua
karyaku untuk KELUARGA. Mungkin tanpa episode kehidupan yang pahit itu, aku tak
mungkin menjadi seperti ini.
SEKIAN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
kritik dan sarannya ditunggu untuk lebih memperbaiki postingan-postingan saya berikutnya :)